Belum usai upaya buruh Indonesia memperjuangkan kebutuhan minimumnya, isu lain muncul yang semakin mendorong buruh jauh dari kesejahteraan. Di samping isu PP 78 tahun 2015 yang masih menjadi polemik sampai saat ini, isu terkait pertimbangan kalangan pengusaha di Indonesia untuk mempekerjakan buruh asal China menyeruak bersamaan dengan dibukanya pintu gerbang MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) di penghujung tahun ini.
Penyerbuan buruh China ke Indonesia ini dimungkinkan seiring dengan permintaan Presiden Jokowi lewat pidatonya di KTT APEC di Beijing, 8-12 November 2014 agar negara-negara Asia Pasifik menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini mendorong antusias China untuk berinvestasi besar-besaran di Indonesia, mengingat China sebagai Negara yang menempati urutan pertama berpopulasi terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 1,36 milliar jiwa atau tepatnya adalah 1.367.485.388 jiwa di Juli 2015 (lihat Tabel 1). Karena upah dan harga tanah naik, dan keuntungan buruh China yang murah berkurang, negara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam, muncul sebagai tujuan yang menarik untuk manufaktur Cina (ILO, 2014). Tampak di sini pemerintah China berupaya untuk menyelamatkan tenaga kerja mereka dengan memberikan banyak peluang kerja di Indonesia. Tapi bagaimana bagi pemerintah Indonesia menyelamatkan anak bangsa sendiri yang masih banyak membutuhkan pekerjaan.
Negara
| Populasi (juta) |
China | 1361.51 |
India | 1251.70 |
United States | 321.36 |
Indonesia | 255.99 |
Brazil | 204.26 |
Pakistan | 199.09 |
Nigeria | 181.56 |
Bangladesh | 168.96 |
Russia
|
142.42
|
Japan |
126.92
|
Mayoritas investasi China di Indonesia mengisyaratkan sepaket dengan tenaga kerjanya yang tidak hanya untuk level manajer (skilled-labor) namun juga level buruh kasar (unskilled-labor). Hal ini menunjukkan terjadinya pelanggaran terhadap UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 43 bahwa Tenaga Kerja Asing (TKA) dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu. Ditambahkan pada pasal 44 bahwa adanya TKA bertujuan untuk mentransfer ilmu kepada pendambingnya yakni warga negara Indonesia dengan waktu yang ditentukan. Tampak hal ini berlaku untuk level manajer (skilled -labor) bukan untuk level buruh kasar (unskilled-labor).
Meskipun begitu keberadaan buruh kasar (unskill-labor) asal China disambut terbuka bagi sejumlah pengusaha yang umumnya dilatarbelakangi anggapan bahwa buruh China memiliki etos kerja yang tinggi, mampu bekerja lebih cepat, dan bersedia menerima upah di bawah upah minimum yang diperjuangkan buruh Indonesia, teranyar buruh asal China di Surabaya bersedia dibayar dengan upah sebesar Rp. 2 juta/bulan padahal UMK Surabaya tahun 2016 sebesar Rp. 3. 045.000.
Di samping itu, khusus pada industri padat modal yang umumnya ketergantungan menggunakan peralatan asal China, keberadaan buruh China mempermudah pengoperasionalan alat dimana penjelasan penggunaan alat kebanyakan menggunakan bahasa China. Sementara itu bagi industri konstruksi pada proyek-proyek China dengan kontraktor asal China, keberadaan buruh China ini membantu kelancaran komunikasi sehingga proyek dapat selesai tepat waktu. Dengan demikian masa depan buruh Indonesia sudah dapat diperkirakan, di saat Indonesia sendiri cukup dikenal sebagai Negara penyedia buruh berupah murah, yaitu tersingkir yang berujung kehilangan pekerjaan.
Memang implikasi kerjasama China-indonesia ini dapat menguntungkan Indonesia dengan mendapat investasi besar-besaran dari Cina demi mempercepat pembangunan Indonesia. Namun sebaliknya bisa juga berpotensi merugikan Indonesia terutama memunculkan isu-isu strategis khususnya berkenaan dengan ketenagakerjaan. Syarat-syarat terselubung di balik investasi tersebut seperti harus dikerjakan oleh warga negara si pemilik investasi membutuhkan pemerintah di samping cerdas untuk menarik investasi asing namun tidak mengorbankan anak bangsa sendiri. Dalam hubungan internasional ini, Pemerintah harus menggunakan strategi negosiasi yang tepat yang menjamin kesejahteraan buruh Indonesia terpenuhi di sisi lain kepentingan dunia usaha juga kondusif.
Di era globalisasi ini kita tidak bisa lepas dari pergaulan internasional dan kesepakatan internasional, seperti pemberlakuan MEA. Buruh Indonesia tidak hanya akan bersaing dengan buruh asal China tapi juga dimungkinkan dengan buruh asal Negara lainnya. Untuk itu buruh Indonesia harus meningkatkan kemampuan berdaya saing dan ini tidak lepas dari peran pemerintah dan pengusaha yang harus terus membina dan membantu dalam peningkatan kapasitas buruh Indonesia. Dengan demikian keadaan ini menuntut semua pihak (pemerintah, pengusaha dan buruh) untuk bersinergis dan bersatu menciptakan hubungan industrial yang kondusif dengan menumbuhkan kembali nilai-nilai Pancasila yang mendasarinya setiap peran.
Pada peran pemerintah, terkait kedatangan TKA ke Indonesia, diharapkan pemerintah lebih mampu membuat kebijakan yang lebih mendahulukan perlindungan bagi buruh Indonesia. Seperti hanya memberi peluang kerja bagi TKA untuk sekelas manajer dengan batas waktu tertentu. Dari hal ini diharapkan meskipun Indonesia tidak menutup pintu akan masuknya TKA dari berbagai Negara, namun berdasarkan kebijakan tersebut TKA sendiri harus menyadari kompetensinya sendiri sebelum bersaing dengan level manajer di Indonesia. Di samping itu kebijakan ini akan mengerem kedatangan buruh kasar dari Negara lain yang dapat berdampak pada peningkatan tingkat kemiskinan di Indonesia apabila mereka menjadi penduduk tetap dan makin mempersempit peluang kerja untuk warga pribumi dimana tingkat pengangguran di Indonesia memang sudah tinggi (lihat Gambar 1). Apabila TKA (misalkan China) tidak dibatasi keberadaannya di Indonesia, secara berlahan akan mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada perannya di sektor-sektor strategis di Indonesia serta akan mendorong terjadinya persaingan budaya dan konflik sosial.
Gambar 1. Perbandingan Tingkat Pengangguran Antara Negara-Negara ASEAN (ILO, 2014)
Arus migrasi yang besar dapat menekan upah pekerja lokal khususnya di industri padat karya, sehingga Pemerintah harus mampu merumuskan upah minimum untuk semua perusahaan yang berlaku untuk pekerja lokal dan asing guna mencegah satu kelompok meremehkan kelompok yang lain (ILO, 2014). Pemerintah seharusnya tidak lagi mengandalkan upah murah untuk mendapatkan minat investor namun beralih pada orientasi ekonomi berproduktivitas tinggi. Terlihat dari hasil survey ILO, upah dan produktivitas tenaga kerja di Indonesia dibanding Negara anggota ASEAN lainnya, masuk dalam level endah (lihat Gambar 2 dan 3). Upah murah tidak selalu menghasilkan keunggulan kompetitif, namun bahkan akan menahan laju ekonomi. Upah yang kecil berakibat pada lemahnya konsumsi, mengakibatkan PDB Indonesia mengecil, artinya melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, laju ekonomi yang lamban akan menahan tingkat kesejahteraan (Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi, 2014). Namun kenaikan upah yang tidak diimbangi dengan kenaikan produktivitas, mengakibatkan biaya buruh per unit output mengalami kenaikan.
Gambar 2. Perbandingan Rata-Rata Upah Antara Negara-Negara ASEAN (ILO, 2014)
Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Tenaga Kerja Antara Negara-Negara ASEAN (ILO, 2014)
Dengan demikian, Pemerintah diharapkan di samping merumuskan upah minimum yang memadai juga mampu merumuskan sejumlah kebijakan lainnya yang tepat baik bagi keberlangsungan perusahaan. Misalnya terkait biaya produksi perusahaan seperti listrik, infastruktur, birokrasi, sumber daya alam, keamanan dan lain-lain, sehingga tidak ada upaya mengatasi biaya produksi dengan pengurangan biaya pada tenaga kerja. Pemerintah juga diharapkan aktif mensosialisasikan program-program pelatihan bersertifikasi dengan bekerja bersama pengusaha untuk mendanai dan melaksanakannya guna meningkatkan kapasitas buruh Indonesia. Di samping itu pemerintah dapat lebih terbuka dan melibatkan pengusaha dan serikat akan saran-saran dalam rangka peningkatan kompetensi dan kesejahteraan buruh Indonesia.
Pada peran pengusaha, diharapkan melalui manajemennya lebih mampu menciptakan hubungan kerja yang kondusif di perusahaan tidak saja dengan buruh tetapi juga dengan serikat buruh di perusahaan guna pencapaian tujuan perusahaan. Terkait kedatangan TKA ke Indonesia, manajemen diharapkan lebih mendahulukan untuk memperkuat kompetensi buruh mereka sendiri daripada merekrut TKA untuk level buruh. Manajemen harus memiliki kompetensi dalam merumuskan kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan pekerja khusus bagi level buruh di perusahaan dalam rangka peningkatan kompetensi. Buruh sebagai manusia dan asset bagi perusahaan tidak hanya perlu dihargai dengan imbalan finansial namun juga imbalan non finansial, dimana imbalan sebagai karakteristik kerja yang dihasilkan dari interaksi pekerja dengan organisasi, tugas/pekerjaan dan hubungan sosial.
Imbalan dari interaksi pekerja dengan organisasi, merupakan imbalan ekstrinsik yang disediakan perusahaan untuk memfasilitasi dan memotivasi kinerja. Imbalan ini dapat berupa pertama, imbalan berwujud (finansial), bernilai ekstrinsik, dan bersifat transaksional langsung dalam pertukaran ekonomi secara langsung seperti basic salary dan variabel/ contingent/ incentive pay. Kedua, imbalan berwujud (finansial), bernilai ekstrinsik, dan bersifat transaksional tidak langsung dengan nilai monetari yang tidak dapat diidentifikasi langsung dan menyiratkan biaya bagi perusahaan untuk pekerja seperti benefit dan insurance. Ketiga, imbalan tidak berwujud (non finansial), bernilai ekstrinsik dan bersifat relasional langsung seperti learning, training and development, employment security, promotion, dan performance management dan bersifat relasional tidak langsung seperti physical environment dimana nilai monetari tidak langsung bagi perusahaan untuk praktek-praktek yang memotivasi kinerja. Imbalan dari interaksi pekerja dengan pekerjaan, merupakan imbalan intrinsik yang langsung berkenaan konten tugas-tugas dari pekerjaan yang dilakukan. Imbalan ini tidak berwujud (non finansial), bernilai intrinsik dan bersifat relasional tidak langsung seperti job challange, variety, dan sense of achievement. Imbalan ini tidak mengisyaratkan investasi monetari dari perusahaan, tetapi membutuhkan investasi pada aspek pekerjaan. Imbalan dari interaksi pekerja dalam pertukaran sosial, merupakan penghargaan yang dirasa dalam hubungan sosial yang terjadi di tempat kerja. Imbalan ini tidak berwujud (non finansial), bernilai ekstrinsik dan bersifat relasional langsung sepertirelationship, communication, leadership, non cash recognition, dan community involvement. Imbalan ini tidak menyiratkan investasi finansial dari perusahaan, tetapi membutuhkan investasi waktu dan perhatian dari atasan dan rekan sekerja ketika melakukan pekerjaan.
Pada peran pekerja, terkait kedatangan TKA ke Indonesia, diharapkan pekerja menumbuhkan semangat dan disiplin kerja dengan meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Seperti dengan mengikuti sebaik mungkin program pelatihan dan pengembangan diri yang disediakan pemerintah dan manajemen dengan kesadaran bahwa produktivitas mereka berdampak bagi kemajuan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan mereka serta kesadaran akan persaingan dalam pasar tenaga kerja di era globalisasi ini. Dalam perusahaan yang memiliki serikat, diharapkan serikat mampu murni berjuang untuk kesejahteraan anggotanya. Seperti bersama-sama dengan manajemen berkomitmen meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan pekerja serta hubungan industrial yang kondusif untuk beritikad baik bermusyawarah dengan memaksimalkan sarana perundingan bersama. Di samping itu memberi input kepada pemerintah dan manajemen terkait hal-hal yang dapat meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan pekerja.
Setiap peran yang dimainkan masing-masing pihak ini harus meyakini sejumlah nilai-nilai Pancasila yang melandasi Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang berlaku di Indonesia. Pertama, HIP menyakini bahwa bekerja bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah saja, akan tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia, kepada masyarakat, Bangsa dan Negara. Kedua, HIP menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka, tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. Ketiga, HIP menganggap pengusaha dan buruh bukanlah mempunyai kepentingan yang bertentangan, akan tetapi mempunyai kepentingan yang sama yaitu kemajuan perusahaan. Keempat, HIP menganggap perbedaan pendapat antara pengusaha dan buruh harus diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan. Kelima, HIP menganggap keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pengusaha dan buruh dicapai bukan didasarkan atas perimbangan kekuatan (balance of power), akan tetapi atas dasar rasa keadilan dan kepatutan. (JF)
Post a Comment Blogger Facebook