BANDA ACEH - Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah sangat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenuhi janjinya untuk merealisasikan semua regulasi turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebelum masa jabatannya berakhir. Zaini bahkan mengingatkan bahwa GAM sudah mengubur mimpinya untuk memerdekakan Aceh, lalu apalagi yang harus dikorbankan supaya turunan UUPA itu dikeluarkan?
“Damai telah kita sepakati, mimpi memerdekan Aceh sudah kami lupakan. Senjata GAM sudah kita potong bersama-sama. Apalagi yang harus kami korbankan supaya turunan UUPA dapat dikeluarkan?” tanya Zaini bernada puitis dan setengah memelas saat membuka Seminar dan Sosialisasi MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada Jumat, (8/8) di Hotel Amazing Koetaradja, Jakarta.
Zaini mengaku, sosialisasi MoU Helsinki dan UUPA sudah sangat sering dilakukan di hampir seluruh kabupaten dan kecamatan di Aceh. Tapi ia menilai, sosialisasi itu tak kalah pentingnya dilakukan di Jakarta sebagai upaya untuk merawat ingatan bersama bahwa proses tercapainya perjanjian damai Aceh tidaklah mudah. Penuh darah dan pengorbanan. Ribuan nyawa melayang selama konflik 29 tahun itu.
Oleh karenanya, kata Zaini, diperlukan komitmen bersama antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan setiap butir kesepakatan yang ada di dalam MoU Helsinki dan UUPA.
Terhitung 1 Agustus lalu, usia UUPA genap delapan tahun. Sedangkan 15 Agustus nanti, usia MoU Helsinki persis sembilan tahun. Zaini menilai, pada awal-awal perjanjian (MoU) dan UUPA berjalan dengan mulus, dalam semangat persatuan dan kesatuan di bawah NKRI.
Tapi belakangan ini, kata Zaini, MoU Helsinki dan turunan UUPA tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Sejumlah peraturan dan kebijakan yang menjadi turunan UUPA terhenti pembahasannya di level kementerian. “Damai telah kita sepakati, sekarang rakyat Aceh menunggu setiap janji Pemerintah Indonesia. Aceh rindu kemajuan dan kesejahteraan,” ucap Zaini.
Ia merinci, di dalam UUPA disebutkan ada sembilan Peraturan Pemerintah (PP) dan tiga Peraturan Presiden (Perpres) yang harus diterbitkan. Tapi sampai kini, baru tiga PP dan 2 Perpres yang selesai. Hal yang sama juga terjadi pada MoU Helsinki. Ada sejumlah poin penting di dalam MoU itu yang belum terwujud. Antara lain, pembentukan Pengadilan HAM (Pasal 2.2), pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim (Pasal 3.2.6); dan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Tapi untuk KKR Aceh, qanun yang sudah disepakati DPRA dan Pemerintah Aceh malah ditolak oleh Mendagri. Ini membuktikan bahwa implementasi MoU Helsinki dan UUPA belum sepenuhnya berjalan dengan baik,” ulas Zaini.
Untuk itu, kata Gubernur Zaini, harus dicarikan jalan keluar dari “konflik regulasi” ini. Kalau tidak segera ditangani, maka akan menjadi momentum pengulangan sejarah tentang ketidakadilan dan kejujuran terhadap rakyat Aceh. “Kalau ini terjadi, maka siklus konflik akan terulang. Pemerintah Indonesia harus segera mengatasinya dengan melunasi setiap janji-janji yang menjadi kesepakatan bersama,” imbuh mantan menteri Luar Negeri GAM ini.
Menurutnya, ada beberapa hal strategis yang harus dilakukan secara holitik (menyeluruh) oleh Pemerintah Indonesia dan Aceh. Pertama, mendorong Presiden SBY menepati janjinya untuk menyelesaikan setiap turunan UUPA. “Ini janji beliau di hadapan seluruh rakyat Aceh pada saat pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) tahun 2013 lalu. Kalau ini tidak dilakukan, berarti ada yang ingkar janji (wanprestasi) terhadap Aceh,” kata Zaini.
Kedua, mendorong pemahaman yang sama antarkementerian Republik Indonesia dalam melihat posisi MoU Helsinki dan UUPA, sebagai sebuah konsensus politik yang amat berharga bagi Aceh dan Indonesia. Untuk itu, ongkos untuk menjalankannya lebih murah daripada munculnya konflik vertikal baru.
Ketiga, mendorong Presiden SBY untuk menerbitkan turunan UUPA, terutama RPP Migas, RPP Kewenangan, dan Perpres Pertanahan, sebelum masa jabatannya. “Sehingga ini menjadi salah satu legacy monumental di masa Pemerintahan Presiden SBY untuk Indonesia, Aceh, dan dunia,” ucap Zaini.
Keempat, mendorong keterlibatan supporting dari anggota DPR asal Aceh, Direktur CMI Martti Ahtisaari, Uni Eropa, dan LSM nasional maupun lokal, untuk mengontrol implementasi MoU Helsinki dan UUPA sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia.
Narasumber dalam acara itu adalah Dirjen Otda Prof Dr Djohermansyah Djohan, Soegeng Soerjadi (Penasihat Politik Gubernur Aceh), Asisten I Setda Aceh, Dr Iskandar A Gani SH, Nurzahri dari DPRA, dan Mayjen (Purn) Amiruddin Usman dan Kemenpolhukam.
Zaini berharap pertemuan itu dirahmati Allah yang senantiasa memberi rida dan perlindungan-Nya kepada Indonesia dan Aceh dalam menggapai cita-cita membangun negeri yang damai dan sejahtera.
Post a Comment Blogger Facebook